Selasa, 16 November 2010

Dimensi tanpa konfigurasi

Dinamika Sosial dalam realita sama halnya benang kusut dengan ujung tersembunyi

Berbeda kemiringan dibandingkan ketika kita mengorganisasikannya sebagai sebuah ornament Keilmuan

Dalam realita Ia begitu Liar; meski dalam theory Ia semi-Rigid

Sulit mendefenisikan dan menguraikan ketika Ia sudah sampai pada tahap yang begitu kompleks

BaK Labirin di pelataran Kastil menipu dan membingungkan

Penuh spektrum.... Unpredictable

Justru ini aspek menariknya, bukan Misteri tetapi penuh teka-teki

Bila serba teratur tentu Ilmu menyebutnya Statistik, Bila dapat dihitung tentu Ilmu menyebutnya Mathematics demikian seterusnya...

Dan, dengan dinamika kehidupan sosial menjadi penuh Aroma dan Warna

Karena tanpa Dinamika Hidup hanyalah DIMENSI TANPA KONFIGURASI !

(Salin dari facebook ditulis pada 18 Agustus 2010)

Dalam temaram Angkringan, berjuta cerita tak pernah tenggelam

Hanya lebih terang sedikit dari yang disebut gelap dan lebih gelap sedikit dari benderang... banyak nama untuk tempat yang satu ini tapi cukup bagi kami mengenalnya sebagai Angkringan saja.

Berbagai kalangan pernah dan suka untuk mengisi perut atau sekedar menikmati minuman (wedangan) dan beragam cemilan. Banyak diantaranya bahkan suka menghabiskan malam disini, tentu saja saya pun menggandrungi atau tak malu untuk menyebut diri saya sebagai fans berat Angkringan.

Bisa dipojok gang, bisa dipinggiran trotoar, bisa di emperan pertokoan, banyak juga yang berlokasi dibantaran selokan mataram atau diseputaran lapangan.

Orang tak perlu malu untuk menjadi dirinya sendiri, didunianya ia boleh seorang dokter bedah atau spesialis kandungan, boleh seorang teknokrat bahkan para aristokrat tapi disini kami tidak mengenal kasta semua adalah jelata. Pembeli adalah Raja boleh bebas asalkan sopan.

Boleh jadi kita bahkan tidak perlu Istana Kenegaraan dan gedung-gedung mewah Kementerian karena sepertinya Negara dapat diatur dari Angkringan saja... ha ha ha.

Banyak sekali kisah yang tertumpah; mulai dari cerita gembira, cerita jenaka sampai metodologi asmara yang mengharukan. Sungguh tempat yang eksotis, benar-benar memiliki daya tarik "magis". Andaikan Plato, Aristoteles dan Da Vinci pernah mengecap pendidikan di Yogyakarta tentu ia lebih memilih Angkringan sebagai tempat menghabiskan waktu untuk merenung, menemukan ide-ide, pemikiran dan karya-karya briliannya.

Disini, di Angkringan ternyata Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dan menyadari bahwa dalam hidup mesti banyak belajar. Disini manusia saling belajar meski sekedar berpura-pura tidak mendengar. Ternyata gempitanya hidup seseorang dapat dimulai dari segelas Jahe Panas atau sekepal Sego Kucing khas Angkringan.

Tribute to Mas/Mba Angkringan yang telah memberikan banyak kisah untuk saya dan kawan-kawan, tetaplah bersahaja dalam kesederhanaan karena Kalian adalah sebenar-benarnya Yogyakarta...

(Salin dari Facebook ditulis pada 18 Maret 2010)

Setengah Nafas Belantara Raya

Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi ... cetus Iwan Fals dalam lagunya pada album Opini (1982).

Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya

Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu
Oh mengapa

Oh jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung

Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia

Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu
Saja

Oh jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti

hmmmmm, tanpa teh panas dan beragam cemilan mulai sajalah untuk menuangkan; sebelum kaku jari jemari sebelum beku isi kepala

...Sejak 27 Tahun lalu lagu tersebut diciptakan dan dikumandangkan. Namun demikian, hingga kini kehendak dan kekuatannya begitu menyentuh dan sangat besar relevasinya dengan keadaan zaman. Setiap jamnya 7 hari dalam seminggu belantara Nusantara digunduli nyaris seukuran Gelanggang Senayan. Belum Habis belum akan berhenti...

Sungguh Alam telah Allah ciptakan untuk sekalian umatnya dengan harapan dapat dipergunakan secara bijak dan bajik. Dengan tangan ini alam kita gerogoti penuh keserakahan seolah hutan adalah kacang Hijau yang ditebar dan esoknya Savana Toge.

Waktu berjalan dalam tempo dan ritme ketika ia diciptakan. Namun demikian kehidupan bergulir terlampau cepat...

Tawa hari ini bukan berarti de javu esok, dalam diam Alam berteriak... "kami sungguh sekarat" dalam hening mereka meminta ... ya Allah ijinkan Kami untuk memuntahkan rasa mual ini, ijinkan kami untuk menggoyang pegal kami, ya Allah Apakah sekarang waktu yang telah Kau tetapkan bagi kami itu?

Hanya Kasih SayangNya saja sekiranya yang menahan Alam untuk melalukan apa yang sebenarnya telah mereka tahan bahkan mungkin sejak ribuan tahun lalu !!!

Allah menciptakan Gunung-gunung yang menyembul dan menjulang untuk membuat Bumi ini stabil dalam porosnya, lalu perhatikan sebaliknya apa yang dilakukan manusia (menggunduli gunung dan membuat semuanya terbalik) cekung menghujam kedalam.

bukankah sebaiknya meluangkan waktu sejenak untuk sekedar berkontemplasi... !!!

(Salin dari Facebook ditulis pada 04 Maret 2010)

Bidak Kehidupan

Bila kita percaya kehidupan di semesta alam ini sebagai sebuah skenario besar sangKhaliq, maka tentu kita percaya sepenuhnya bahwa Manusia merupakan bidak sejati dalam naskah yang telah dituliskan tersebut... mutlak sebagai Bidak dan Mustahil menjadi DiriNya.

Para Bidak hanya diberi kesempatan untuk saling bertukar tempat dan kesempatan, sungguh sebuah siklus nasib dalam parade takdir kehidupan demi lahirnya sebuah proporsionalitas.

Kita tidak dapat memainkan lebih dari apa yang menjadi bagian kita... Bagian sangat kecil yang tersisa dari langkah-langkah besar yang telah disusun oleh sangMaha.

(Salin dari facebook ditulis pada 21 Desember 2009)

Terbunuh oleh waktu... (menunggu itu [sangat] menyakitkan)

Fase menjadi Notaris sungguh memilukan; setelah menyelesaikan pendidikan tentu melaksanakan apa yang disebut sebagai Magang Wajib Calon Notaris, setelahnya masih adalagi dimana Pemerintah menyebutnya sebagai SABH (dulunya SisMinBakum), dan lainya seperti Pelatihan Koperasi at Pasar Modal (dua terakhir ini tidak wajib sebagai syarat pengangkatan) meski tetap saja mengikis kewenangan Atributif seorang Notaris.

Belum lagi berbicara tentang umur dan kuota yang saling terkait... menunggu umur kuota telah penuh. Bahkan disinyalir banyak sekaLI penyimpangan berkenaan dengan penempatan (kuota penuh tapi pada kenyataannya masih ada saja Notaris baru yang dilantik). Dan ketika umur telah memasuki tahap yang diijinkanpun masih perlu ini dan itu (seperti Si SABH dan lain2) yang pelaksanaannya cuma janji yang tidak pernah terealisasi minimal nyaris dalam 2 tahun terakhir.

Prosesi untuk menjadi Notaris ini seperti parodi dan pemerintah begitu nikmatnya menjadi dalang dalam permainan nasib ini. Sebuah tanggung jawab yang dilalaikan oleh pengampu kewenangan yang dampaknya sungguh sistemik. Logika yang lebih realistis dibanding ketika Pemerintah berfikir bahwa penyelamatan Bank Century adalah karena faktor psikologis dari masa lalu dan efeknya yang berdampak sistemik.

Ini bukan bercerita tentang kesabaran atau berserah kepada Allah Tuhan Semesta Alam... ini tentang itikad baik dan political will dari pengampu negara. Ini tentang kepekaan rasa dan sensitifitas !!!

saya sendiri pernah berada pada posisi dimana rekan2 sekarang berada (rasakan) dan kondisi itupun masih kental dalam diri saya, gurat itu belum hilang, meskipun kini dapat dikatakan telah dapat keluar dari lingkaran itu. Namun demikian, tidak terkait secara langsung terhadap akar permasalahannya ataupun saya telah dapat mencari solusi dari problematika tersebut. Ini tentang jalan hidup yang ternyata Allah menetukan lain.

Apapun dan betapapun tetaplah berjuang dan tawakal ... tribute to NotariatUGM Brotherhood (Salin dari Facebook ditulis pada 3 Desember 2009)